Minggu, 26 Desember 2010

TEPAT dan TERBAIK




Waktu yang selalu TEPAT melaju…
Mengajak diri lakukan aktivitas TERBAIK

Kudengar sendiri hela nafas TEPAT satu-satu
Dalam deguban TERBAIK kerja si jantung

Jiwa yang terbalut rapuh, TEPAT di dasar hati
Mencoba mengerti apa artinya cinta TERBAIK

Aku kutip semua serpihan-serpihan rindu dengan TEPAT
Berserakan di singgasana TERBAIK para perindu

Mimpi indah TEPAT beriringan terus semalam
Melewati hari-hari dan malam-malam hanya dengan harapan TERBAIK

Jiwaku melanglang buana menari-nari, TEPAT seirama simfoni alam
Membumbung tinggi, menembus sunyi, bermuara pada dekapan TERBAIK sang malam….

Ketika menebar senyum dan matanya tertuju TEPAT di hati
Sebuah bayangan kerinduan : kau yang nun entah dimana, di tempat TERBAIK pastinya…

Saat bayangan itu TEPAT terpantul di cermin kehidupan
Saat itulah suatu masa TERBAIK yang tlah Dia siapkan…

Teriring cahaya TEPAT benderang, tampak sebuah sinaran nan suci
Menuju kembara TERBAIK kerinduan hakiki

Tujuan yang TEPAT, indah tanpa tepi
Labuhkan diri didetik akhir perjalanan TERBAIK ini….

Desahkan nafas kerinduan, TEPAT hentikan jeritan jiwa
Di puncak TERBAIK, berteman keheningan

Isyarat itu TEPAT terbaca sebagai petunjuk arah
Menghentikan laju ini pada dermaga TERBAIK, saat pemberhentian tiba

Berenang dengan TEPAT separuh nafas, dalam samudera rindu yang berpeluh
Ungkapkan rasa, menitipkannya bersama hujan dalam tetesan TERBAIK

Saat kepak sayapku TEPAT lengkap, sempurna….
Cinta-Nya lah yang menjadi penawar TERBAIK sayap yang dulunya terluka

Suara lembut itu TEPAT menggema di lorong hatiku…
Menerjemahkan dengan TERBAIK rindu yang mulai terkikis oleh waktu…

Saat sang waktu tertatih berjalan, rinduku menyelinap TEPAT di palung hati
Tangan ini pun menggenggam erat pena dan menulis surat cinta TERBAIK untuknya….

Mata, hati dan jiwa meniti baris demi baris kata merangkainya dengan TEPAT
Berteman kesunyian TERBAIK yang tak pernah ia kenal sebelumnya…

Bagi jiwa yang selalu TEPAT merindu, membuka selaksa kenangan yang pernah tercipta dahulu…
Terdengar alunan simfoni TERBAIK laksana nyanyian surga

Saat cinta-Nya TEPAT ‘berbicara’…
Dalam rukuk dan sujud tanda pengabdian TERBAIK sang hamba…

[Keisya Avicenna : TEPAT dan TERBAIK, @ISTANA KYDEN, 20 Juni 2010…21:00 WIB]

JARKONI

Keinginan untuk mengalahkan orang lain adalah awal dari kekalahan diri sendiri. Mampu mengalahkan diri sendiri adalah kemenangan sejati…(gak egois gitu!!!)
Sepertinya, tidak adil untuk meminta pada Allah swt agar menolongmu untuk mengalahkan orang lain. Berdo'alah agar diberi kekuatan dan kesabaran, agar tidak menangis jika kalah…(mo MENANG pa MENANG-is,it’s UP TO YOU!!!)

Memberi semangat orang lain lebih mudah daripada memberi semangat diri sendiri. Bagaimanapun pintarnya seseorang memberi semangat orang lain, belum tentu ia pintar memberi semangat dirinya sendiri. Analog istilah jawa jarkoni, iso ngajar ora iso nglakoni. Hanya sedikit orang yang tidak termasuk dalam kategori jarkoni.

Menuntut orang lain memberi semangat pada kita adalah sebuah kesalahan. Tak seorang pun bertanggung jawab atas pasang surutnya semangat di dalam diri kita, melainkan diri kita sendiri. Yang benar-benar memahami diri kita, ya kita sendiri. Tapi terkadang kita enggan membuka pintu hati untuk menerima kenyataan. Kebahagiaan dan kesedihan adalah dua hal yang bertolak belakang yang sejatinya adalah pasangan. Ketika kita bisa menyandingkannya, maka kita tak kehilangan kebahagiaan disaat kesedihan datang.

Sudah menjadi kodrat manusia, saling membutuhkan satu sama lain. Berbagi suka dan duka tentunya bisa menyalakan semangat yang hampir padam.

MENITI JEJAK DI PERMUKAAN PELANGI

*Keisya Avicenna

Merah menunggu…
Ketika Jingga menghampirinya
Kuning juga menanti…
dan Hijau pun mendekati
Biru ikut bergabung
Bersama Nila bertambah seru
Lalu datang juga sosok Ungu
Mencoba ikut berpadu….

Orang lain berkata,
“Mereka akan bersatu?
Jangan bercanda!
Merah terlalu merah
Jingga dan kuning tak cocok bersama
Hijau dan biru akan merusak saja
Nila hanya kaburkan semuanya
Dan yang ungu?
Wah, tak mungkin bisa!

Tapi mereka tetap bersama
Tak peduli kata siapa
Suka dirasa bersama
Duka dibagi rata
Seperti layaknya saudara

Dipenuhi canda tawa,
Si merah lalu belajar menjadi jingga
Jingga belajar mengerti kuning
Kuning mencoba pahami hijau
Hijau melipur hati biru, nila, dan ungu
Merangkum mereka semua
Saling merengkuh penuh cinta…
Penuh cinta…

Masing-masing melepas egonya
Menerima dengan hati terbuka
Mencintai sesamanya
Merasakan bagiannya

Kutitipkan puisi rindu dalam kombinasi warnanya yang berpadu
Merah Jingga Kuning Hijau Biru Nila dan Ungu

Lihat mereka di ujung langit sana
Berpegang teguh bersama
Saat hujan badai mereda

Siapa yang menyangka
Tujuh warna berbeda
Berubah menjadi bentuk penuh cinta
Menuturkan keindahan secara dalam
Arti sebuah kebersamaan
Kekeluargaan
Saling memiliki
dan cinta yang melipur hati….

Perpaduan warna nan rupawan
Membuat hidup kita semakin menawan

Kemarin…
Hari ini…
Esok pagi…
Melingkar di atas senja atau
Berpendar indah dalam sanubari kita….
Selamanya….
Semoga pelangi itu tetap ada !!!


(special untuk keluarga FLP Pelangi dan FLP Solo Raya)

By : Keisya Avicenna_*)Humas Pelangi
Email/FB/YM : keisya_avicenna@yahoo.com
Gubug Inspirasi : www.nungma.blogspot.com

MENATA AKSARA WARNAI DUNIA [FLP Pelangi Solo Raya_1]




        “Rangkaian tulisan bisa menjadi jembatan harapan, kehendak dan inspirasi tiada henti. Berjuta cerita telah dengan sukses diabadikan dengan indahnya tulisan. Beribu tokoh terlahir dengan kepiawaiannya bercerita melalui tulisan. Pesan dan cita-cita mengalir setiap saat dengan sekian banyak tulisan yang dibaca manusia di seantero dunia. Hm, indah dan dahsyatnya sebuah tulisan!!”

Aksara…huruf…alphabet…

Setiap saat kita pasti menjumpainya, baik yang kita baca maupun yang kita tuliskan. Berawal dari spirit untuk “MENATA AKSARA WARNAI DUNIA” (jargon ini terinspirasi dari tulisan kepala sukunya…klik aja di : http://writhink.wordpress.com/
dengan judul asli MENATA AKSARA UNTUK DUNIA.hehe…nyomot ya kepsuk…), bertemulah beberapa insan yang ingin serius dan komitmen untuk belajar dan berkontribusi lewat tulisan. Mereka menamakan komunitas mereka FLP Pelangi. Karena FLP Solo Raya pasca PELAT PULPEN tanggal 6-7 November 2010 telah membagi ‘anak buahnya’ menjadi beberapa ranting, yaitu : FLP UNS, FLP UMS, FLP STAIN, FLP pelajar, dan untuk kalangan umum (bagi yang sudah tidak berstatus mahasiswa lagi, sudah bekerja, bahkan ada juga yang sudah berkeluarga) pun punya ranting sendiri dan lahirlah FLP Pelangi. Hihi kayak nama TK aja….(pengin kembali ke masa kanak-kanak dulu euy…penuh warna dan keceriaan)

Siang itu, hari Ahad tanggal 19 Desember 2010 bertempat di masjid Nurul Huda UNS, FLP Pelangi pun berkumpul untuk menata barisan warna-warna mereka. Hehe. Diawali dengan prakata dan pembukaan dari Mas Aries Adenata (selaku ketua FLP Solo Raya), dibantu asisten-nya (hehe) Mas Aris El Durra, beliau menyampaikan selayang pandang ke-FLP-an, tujuan kita bertemu siang ini, dan akhirnya memandu FLP Pelangi untuk membuat susunan pengurus. Ada dik Erny Ratna juga (angkatan 6) selaku fasilitator-nya FLP Pelangi.

Dan inilah Susunan Pengurus FLP Pelangi :
Ketua : Kang Casofa Fachmy
Sekretaris : Mbak Fitriani
Bendahara : Mbak Masyfu’ah
Divisi Karya : Mas Ruri, Mbak Anik, dan Mbak Nury
Divisi Humas : Nungma, Pak Wiwid (seorang TNI nih!!^^v), Mbak Artanti
Divisi Kaderisasi : Mas Dwi, Mas Heri, dan Bunda Eny
Subhanallah, seru lah!!!


Akhirnya setelah terbentuk kepengurusan, Mas Aries Adenata mempersilahkan sang kepala suku Pelangi, Kang Sofa, untuk melanjutkan agenda meeting siang itu. Penulis buku Muslim Inspiratif; Muslimah Mewangilah Ke Surga; Muslim Padat Karya; dan Be PeDe, Plis!! ini menyampaikan banyak hal terutama tentang visi, misi, harapan yang akan kita usung bersama. Beliau ingin kita harus benar-benar serius untuk menghasilkan buku. Bukan saatnya motivasi menulis lagi dan hal-hal lain yang bisa kita pelajari sendiri sambil jalan…(awas, nabrak!^^). Yups, sepakat, pakdhe!! ^^v. Pola pikir kita pun juga sudah bukan mahasiswa lagi, kita lebih kompleks, lebih dewasa…(hehe….), ya ibarat warna-warni pelangi deh. Colourfull!!! Intinya, kita siap untuk memulai dari yang ‘berat-berat’ dulu, salah satunya kita fokus untuk “MENULIS BUKU”. Dan lahirlah impian 2011 FLP Pelangi : dalam satu tahun kita akan berusaha untuk menulis 2 buku…6 bulan pertama buku nonfiksi, 6 bulan berikutnya buku fiksi. Siiip dah…Sebagai konsekuensinya pertemuan kita harus rutin, kontinyu, dan komitmen yang sungguh-sungguh dari semuanya. Akhirnya, dibuatlah kesepakatan bersama. FLP Pelangi akan mengadakan pertemuan satu pekan sekali. Dan Alhamdulillah, kita juga sudah punya markas. Markas FLP Pelangi di rumahnya Mbak Masyfu’ah di Perum Puncak Solo. Wow, seru banget nih!!! Mari, menata aksara warnai dunia…..

Semoga kita semua senantiasa istiqomah untuk menghasilkan karya-karya yang bermanfaat pluz mencerahkan, dan semoga kita tidak termasuk orang-orang yang berguguran di jalan pena. Amin. ^^v

“Sebab CINTA adalah gelombang makna yang menggores langit hati, maka jadilah PELANGI. Goresannya kuat, warnanya terang, paduannya rumit, tapi semua nyata. Indah…”
[Anis Matta]

“Pada hakikatnya, warna dasar hidup kita adalah putih seperti fitrah manusia yang tanpa dosa. Menjadi berwarna akibat dispersi. PELANGI, dengan tujuh warnyanya yang memesona, bersiaplah ada berbagai macam warna kehidupan yang akan kita jalani. Bukan selalu kesenangan, bukan juga selalu kesedihan. Akan ada banyak warna yang menghiasi pelangi jiwa kita. Ketujuh warna pelangi akan menggetarkan semua bagian dari alam dengan energi yang tidak pernah berhenti…Kita boleh jadi merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila dan ungu…tapi pada dasarnya kita satu warna : PUTIH”
[Keisya Avicenna]

Riuh Rendah Jalan Buku, Dicari Penulis Jitu



by Bambang Trim on Sunday, October 17, 2010 at 8:46pm
Siapa sebenarnya yang meramaikan jalan buku itu? Dialah para pengarang dan penulis. Sumber utama nafas penerbitan adalah naskah dan para kreatornya adalah para pengarang dan penulis. Ide yang tebersit di otak mereka, lalu  menjelma menjadi karya adalah peta masa depan industri perbukuan. Karena itu, sepatutnya memang para pengarang dan para penulis diberi sebuah peluang untuk bertumbuh dan berkembang dengan pupuk alami tanpa pestisida. :)

Sepuluhan lebih orang-orang muda meskipun di antaranya ada seorang bapak sepuh dari FLP Solo, sore ini mampir ke rumah kontrakan saya di daerah Colomadu. Kami langsung membuka diskusi soal penerbitan dan pernasakahan. Posisi sebagai tuan rumah juga merangkap menjadi pembicara sentral membuat saya bicara lepas. Maka saya bicara soal hal ideal yang dapat dilakukan penerbit kepada pengarang dan penulis; lalu soal jalan taktis menerbitkan buku; mainstream penulisan; dan banyak hal yang isinya masih seputar apa dan bagaimana menulis buku. Boleh jadi ini topik lama soal keinginan menjadi penulis dan bagaimana dapat direalisasikan. Namun, saya paham selalu lahir generasi baru penulisan pada setiap zaman atau satu dekade.

Saya adalah generasi remaja yang tumbuh bersama Imung, Lupus, dan Balada Si Roy. Saya generasi yang juga menikmati kedigjayaan gaya menulis populer Arswendo, Emha Ainun Nadjib, dan Jalaluddin Rakhmat. Saya masih bisa menikmati sisa kehebatan penulisan Romo Mangun, Kuntowijoya, Umar Kayam, hingga Motinggo Busye. Mereka para maestro tulisan yang tulisannya benar-benar memiliki daya pikat luar biasa. Lalu, lahir generasi baru penulis seperti Ayu Utami, Seno Gumira, Dewi Dee, HTR, hingga masa Kang Abik dan Andrea Hirata, bahkan ke masa Raditya Dika. Semua menunjukkan daya, di luar keabsurdan yang kadang disandang dari metode, gaya, hingga hasil karya.

Kini, para kaum muda tadi sedang mencari cara sekaligus model sebuah jalan buku yang akan mereka tempuh. Beruntung mereka berada pada zaman tumbuhnya industri penerbitan dan makin baiknya kompensasi penulisan. Mereka juga tumbuh pada zaman mudahnya mengakses informasi hanya dalam satu klik. Mereka juga tumbuh pada zaman yang tidak membutuhkan tip-ex untuk mengulang ketik tulisan yang keliru atau tak bermutu. Namun, dalam satu sisi kadang-kadang banyak dari mereka yang kehilangan orientasi dalam menulis. Menulis buku untuk apa? Mau ngapain? Caranya bagaimana?

Bergulat dengan industri buku sejak 1994, membawa saya mengikuti riuh rendah industri buku--sebuah industri kreatif pengemasan ide yang selalu dinamis. Dahulu para penulis muncul dan tumbuh dengan sebuah proses. Namun, proses itu kini semakin bersicepat dan  kadang-kadang tak terpikirkan lagi. Tiba-tiba seseorang yang baru muncul sudah mengusung portofolio telah menulis puluhan hingga ratusan buku. Ada lagi yang mengusung portofolio bahwa bukunya adalah buku best seller meski namanya terasa baru terdengar dan bukunya tak pernah terlihat diekspose di toko buku modern. Zaman kini memang serba instan sampai menawarkan kemudahan. Hanya dengan menggunakan jasa digital printing dan POD, seseorang dapat menerbitkan buku sendiri tanpa harus melewati saringan bernama rapat redaksi ataupun editorial sebuah penerbit. Maka tak perlu mengurut dada tumbuhnya penulis karbitan ataupun tiba-tiba begitu banyak orang yang seolah menjadi penyair sekaligus novelis.

Inilah industri yang riuh rendah dan diramaikan oleh para pengarang/penulis seperti pendekar dari berbagai golongan. Mereka ada yang unjuk gigi, dan ada pula yang 'low profile' lebih mengandalkan unjuk gigih. Jurus yang mereka mainkan kini bermacam-macam: ada yang menggunakan senjata milist, facebook, twitter, atau cara-cara kuno. Ada juga yang menggunakan jurus Dewa Mabuk, Kunyuk Melempar Buah, atau  Tendangan Tanpa Bayangan. Sampai di sini banyak penerbit yang terkecoh, ada yang langsung mati terkapar, dan ada juga yang mampu berkelit, jumpalitan. Tak dimungkiri bahwa peran para pengarang/penulis inilah yang membuat industri penerbitan menjadi riuh rendah, termasuk juga adanya kehadiran pendekar asing, seperti JK Rowling, Stephanie Meyer, Dan Brown, Rhonda Byrne, Dr. Oz, dan Malcom Godwell yang juga turut menggoyang pasar buku Indonesia.

Sekumpulan teman-teman FLP tadi memang seperti sedang mencari ilmu kanuragan. Seperti ini yang saya suka, proaktif mendatangi para penggiat dunia buku dan literasi, lalu berdiskusi secara informal. Pesan saya bahwa seberapa banyak pun mereka mengikuti seminar atau training penulisan takkan berarti apa-apa manakala tak terlihat jalan sedikit pun untuk berkarya dan menancapkan eksistensi. Betul, persaingan semakin hari semakin tinggi. Namun, Allah akan mempertemukan peluang bagi mereka-mereka yang mau mengambil jalan berpayah-payah atau menggumpalkan segenap cinta dan cita di dunia perbukuan. Lalu, yang dibutuhkan selanjutnya adalah strategi dan taktik jitu--bukan sekadar motivasi atau berita baik bahwa menulis buku itu mudah, bisa dilakukan siapa saja, bahkan dengan embel-embel kisah sukses para penulis. Lha, para penulis sukses itu secara kebetulan atau memang sudah rezekinya bertemu peluang karena sebuah jalinan takdir sehingga bukunya terbit--sebagian dari mereka memiliki sejarah rumit sebagai penulis hingga bisa diterbitkan. Karena itu, antara motivasi dan kisah sukses harus dijalin dengan metode, strategi, dan keprigelan mengamati situasi, tren, serta kecenderungan penerbitan buku.

Masalahnya siapa yang benar-benar mau membuka 'rahasia' metode, taktik, dan ilmu prigel itu secara up-to-date sekaligus membumi kepada mereka? Boleh jadi kita berharap para begawan akan turun gunung atau para pendekar-pendekar bernama akan mencari murid-murid untuk melanggengkan ajaran mereka. Di sinilah kita berharap pucuk dicinta, ulam pun tiba. Literasi harus babat alas masuk ke segala sendi untuk mendapatkan murid-murid berbakat. Para penerbit harus mampu menciptakan para pendekar di dunia editor dan penulisan untuk kemudian mendampingkannya dengan para junior-junior yang siap menjalani proses.

Jujur, tak mudah melahirkan penulis jitu dari rahim penerbit. Dan memang tak mudah mendapatkan penulis-penulis jitu dalam satu dekade ketika jalan buku terlalu banyak persimpangan yang menyesatkan: beberapa penulis yang sesungguhnya potensial itu akhirnya malah tersesat ke hutan belantara. Terkadang justru penerbit sendiri yang 'mengusir' para penulis tadi hanya karena tampil seperti 'pendekar pengemis'. Padahal, ia memiliki senjata mustika. Maka ada pepatah bijak: "Kenali pohon-pohonnya, bukan hutannya."

Ditunggulah perjodohan dahsyat: penulis jitu bertemu editor nagasastra dan penerbit segala tahu. :)

::catatan kreativitas Bambang Trim
Praktisi Perbukuan Indonesia yang kini mukim di Solo

Menata Aksara untuk Dunia


Hemingway memuji sosok ini habis-habisan. Bahkan Hemingway menempatkannya sebagai sosok inspiratif dalam dunia kepenulisan. “Jujur saja,” begitu kata Hemingway, “seluruh cerita Amerika modern sesungguhnya cuma berasal dari dari satu buku, The Adventure of Huckleberry Finn, karya dari Mark Twain.”

Mungkin Hemingway tak terlalu berlebihan. Sosok ini, yang bernama asli Samuel Langhorne Clemens, atau lidah kita sudah terbiasa menyebut nama penanya dengan Mark Twain, memanglah istimewa. Terlahir di Florida, dan berlincah-lincah menuju usia dewasanya di Mississippi. Praktis, lingkungan perkapalan itu pun memengaruhi cita-citanya: menjadi seorang juru mudi kapal. Cita-citanya memang benar-benar terwujud. Akan tetapi, ketika tengah pecah perang saudara di tahun 1861-1865, ia justru merubah kemudi hidupnya menjadi seorang freelancer di berbagai media.

Orang-orang mulai tertakjub dengan kepiawaiannya menulis tatkala The Celebrated Jumping Frog of Calaveras Country terbit. Ia cukup tersohor berkat karyanya itu. Ia pun kemudian nomaden, dari Nevada, menuju California, hingga San Fransisco. Dasar penulis, kisah perjalannya itu pun kemudian menjadi inspirasi akan lahirnya sebuah karya lagi, kali ini terjuduli The Innocents Abroad. Dan statusnya pun bertambah: ia kian sukses dan kian tersohor kini. Ia pun kian kaya dan terkenal tatkala The Adventure of Huckleberry Finn tergulirkan ke pasaran. Namanya benar-benar meroket indah. Ia menjadi legenda. Dan cerita kelegendaannya bermula dari karyanya itu. Ia pun menjadi inspirasi sekian ribu-juta pembaca dan penulis, baik di generasinya maupun setelahnya.

Di belahan bumi dan waktu yang lain, tersebutlah juga sosok penulis yang juga melegenda. Siapa sangka, ia justru seorang dokter. Tapi praktiknya tidak laku. Pasien-pasien yang dirawatnya tidak betah. Entah mengapa. Sama seperti kita, ia pun juga tak tahu. Untuk mengisi kekecewaanya atas peristiwa ketidaklakuan praktik dokternya itu, ia menulis. Ia mereka-reka tokoh. Terlahirlah sosok rekaannya yang melengenda: Sherlock Holmes. Uniknya, sosok itu terinspirasi dari profesornya, John Bell, saat masih kuliah di Eidenburgh dulu.

A Study in Scarlet, muncul sebagai karyanya yang pertama. Kemudian menyusul sebagai yang kedua, A Sign of Four. Tapi itu semua tak laku. Tidak menggema dan kurang populer. Hingga akhirnya, dia menciptakan serial pendek The Adventure of Sherlock Holmes. Dan namanya langsung meledak, berkibar di tiang-tiang hati para pembaca. Ia langsung menjadi legenda. Ia benar-benar selalu ditunggu. Saking meledaknya, Holmes bahkan lebih terkenal dari namanya sendiri. Bahkan, ada data yang menyebutkan bahwa ia, adalah penulis dengan bayaran tertinggi di dunia pada tahun 1920-an. Dan dokter yang gagal berpraktik tapi tersohor setelah menjadi penulis itu bernama Sir Arthur Conan Doyle.

Karya mereka melegenda. Mark Twain dan Conan Doyle. Mark Twain, melegenda lewat Tom Saywer pada petualangan di The Adventure of Huckleberry Finn. Sir Arthur Conan Doyle melegenda lewat The Adventure of Sherlock Holmes. Tentu itu adalah inspirasi. Ruang kontemplasi super tinggi yang harus mau untuk kita renungi. Kali ini, kita belajar tentang satu pertanyaan: karya apa yang akan melegendakan kita?

Ini bukan cerita tentang betapa kemaruk atau bernafsunya kita menjadi tersohor. Bukan, bukan tentang itu kawan. Tapi, ini adalah tentang niat mulia kita untuk menghasilkan karya, dan di saat yang sama, ini adalah tentang menantang diri kita sendiri untuk melompat lebih tinggi. Kita terbiasa meloncat di batasan atap yang pendek sekali. Mengapa tak kita keluar saja dari ruangan itu, kemudian meloncat dengan hebat di lapangan luas. Dengan batasan langit sebagai atap, tentu kita akan tergerak dan teradrenalinkan semangat, untuk melompat lebih tinggi, tinggi, tinggi, dan tinggi lagi. Ayolah, kita bisa lebih hebat dari saat sekarang ini. Ini hanya sebuah cerita tentang kemauan saja. Dengan begitu, kita akan mempunyai kemampuan.

Untuk apa melegenda? Perlukah itu? Tidak. Kita tidak perlu. Tapi generasi setelah kita yang memerlukannya. Mereka butuh inspirasi, dan inspirasi, selalu lebih mengena dan mereka percayai jika datang dari generasi sebelum mereka. Mereka butuh belajar banyak hal dari masa-masa yang berbeda dengan mereka. Kemudian mereka timang, bandingkan, kemudian mereka bagi lagi. Begitu seterusnya. Dengan begitu, kita bukan hanya berbagi inspirasi, tapi kita juga menuai pahala, yang tak kenal henti. Jika kita tak melegenda, tentu mereka tak tahu kalau kita ada. Jika kita tak berkarya, tentu mereka tak bisa mengambil kita sebagai inspirasinya. Tentu saja, jika karya kita tak berguna bagi dunia, tentu kita tak menjadi legenda.

Sama seperti saya. Kita-kita sama-sama belum punya. Tapi di sini, kita belajar dari pertanyaan itu. Tapi dari sini, adalah terminal keberangkatan atas sebuah penyadaran: suatu saat, kita harus bisa seperti mereka. Lalu, pertanyaannya adalah, apa yang benar-benar kita butuhkan agar aksara-aksara kita benar-benar berguna untuk dunia?

Pertama: Teruslah Berkarya Agar Semesta Merasai Manfaatnya
Tak seperti kebanyakan penulis di zamannya, Jane Austen memang menentang arus. Kebanyakan, penulis di zamannya itu menyeruakkan tema tentang petualangan dan imaji yang liar. Sebut saja yang mengusung tema itu seperti Daniel Defoe, Samuel Richardson, atau Henry Fielding. Tapi Jane tidak, ia justru menampilkan tema yang unik: dengan settingan yang selalu bangsawan, ia seringkali mengisahkan gadis muda yang mencari jati diri. Dan itu sangat menggemparkan. Bagaimana tidak, sosok wanita di zaman dahulu, adalah kasta kedua dalam kehidupan sosial. Tema yang diangkat Jane, sangat tidak lazim.

Seperti karya tulisnya, kisah cintanya pun tak jauh berbeda. Di usia 23 tahun, ia dinikahkan oleh orangtuanya dengan Harris Bigg Whither, seorang bangsawan kaya dari Hampshire. Akan tetapi, tepat satu hari sebelum pelaksanaan sumpah nikah dilaksanakan, ia membatalkan. Kontan saja, seluruh manusia yang mengerti betapa sakralnya acara ini tergemparkan. Apa penyebabnya? Jane sosok setia sepertinya. Maklum, sebelumnya ia pernah menjalin cinta kasih dengan seseorang, tapi dia meninggal lebih dulu di usia yang masih muda. Dan sepertinya, ia ingin menjaga cinta suci versinya itu, dengan tidak menikahi seorang pria pun.

Sense and Sensibility, novel pertamanya, terbit. Tapi pasar belum beraksi apa-apa atas karyanya itu. Hingga dua tahun kemudian, naskah Pride and Prejudice, sebuah novel yang telah difilmkan dan diperankan oleh Keira Knightly ini, pun ketika ditawarkan ke penerbit, semuanya tak menggubris. Naskah Jane tertolak dengan sukses. Bahkan, sang ayah, yang mengerti benar tentang kemauan besar anaknya ini, ikut membantunya menghubungi penerbit-penerbit di London, tapi sepertinya, gayung belum juga bersambut. Tapi Jane, terus menulis. Bahkan lebih bersemangat menulis.

Hingga suatu kali, Richard Crosby, membeli novelnya yang Northanger Abbey. Tapi, tak jua kunjung terbit. Hingga akhirnya, perlu delapan tahun karyanya akhirnya terterbitkan, itu pun setelah ia tak mencantumkan nama aslinya dalam novel. Tapi, karena banyak yang memuji karyanya, akhirnya ia pun mulai menggunakan nama asli. Secara beruntun, akhirnya karyanya pun membanjiri pasar. Ia mulai tersohor. Ia mulai banyak penggemar. Bahkan, tak tanggung-tanggung, Pangeran Regent, yang kemudian menjadi Raja George IV, adalah penggemar beratnya.

Kita belajar dari Jane tentang tak kenal lelah berkarya. Jika ada di suatu hari dalam hitungan hari-hari kita, kita mengingini karya kita diterbitkan menjadi buku, dan naskah sudah kita siapkan sedemikian cantik dan memesona, tapi gayung belum juga bersambut, penerbit belum ada yang mau membuka matanya sekali saja untuk melirik karya kita, berhentikan kita dari cita itu? Jangan. Tidak. Sekali-kali jangan, sekali-kali juga tidak. Jika kau laki-laki, malulah pada Jane. Jika kau perempuan, berkacalah pada Jane. Ini bukan masalah jender kawan, ini adalah tentang mengaca rasa malu. Karena itulah yang akan membawa kita ke jalan lain yang labih baik. Jika mimpimu tak kau pegang erat, lalu siapa yang akan dengan senang hati memegang eratnya? Teruslah berkarya, lalu tunggu keajaiban. Karena jika kau berhenti, kau akan ketinggalan kereta keajaiban yang mampir di terminal masa depanmu. Berkaryalah, dan biarkan seluruh semesta merasai manfaatnya.

Kedua: Tatalah Aksara dengan Kekuatan Jiwa
Mari kita berbicara tentang sebuah pertanyaan bodoh, jiwa, dan menulis. Ah, aku mulai melihat seraut tampang bingung dari reaksi wajahmu kawan. Agar tak semakin melinglung, mari kita memulai saja.

Kita memulainya dari sebuah pertanyaan bodoh saja. Bayangkan, misalnya begini, saat ini, kau datangi si Tiger Woods, dan katakan kepadanya begini, “Hai Tiger, kamu ini kan sudah kaya, terkenal, dan banyak prestasi kejuaraan yang sudah kau dapat, lalu, mengapa tak kau berhenti saja bermain golf, dan memberikan kesempatan generasi pegolf lainnya untuk menjuarai kejuaraan dan menjadi legenda sepertimu sekarang ini?” Atau, kau datangi Valentino Rossi, dan katakan hal ini jua kepadanya, “Hai Rossi, kau sudah berkali-kali menang, jadi miliarder, dan jua terkenal, mengapa tak kau hentikan saja balapan, bukankah kau sudah pernah menjadi juara dunia, dan bahkan kini kau pun sudah menjadi legenda, lalu, apalagi yang hendak kau cari?”
Kira-kira, apa yang akan mereka berdua katakan kepadamu kawan? Pilihlah beberapa opsi berikut ini:

“Baiklah, kau benar kawan, saranmu akan kulaksanakan, aku akan menikmati kekayaanku sekarang ini, dan rumahku yang megah itu, berkeliling dunia setiap hari, dan menghabiskan waktu berhari-hari berlayar di Miami.”

“Ha? Kau bercanda? Aku sudah berpeluh lelah menuju kondisi seperti ini, tak mungkin aku berhenti, aku ingin membuktikan kepada dunia, bahwa aku yang terhebat!”

Oke kawan, opsinya hanya dua. Dan kau harus memilih, kira-kira mereka memilih jawaban yang mana? Sepertinya, mereka berdua takkan memilih satu pun di antara dua opsi itu. Benarkah? Yah, karena bagi mereka, itu adalah pertanyaan terbodoh yang pernah mereka dengar. Oke, engkau sudah melewati tahap pertama dalam pembahasan kita. Yaitu tentang sebuah pertanyaan bodoh. Mari kita berbicara tentang tahapan kedua, yaitu tentang jiwa.

Bagi Tiger, golf adalah nafasnya. Jika engkau menyuruhnya berhenti bergolf ‘hanya’ karena ia sudah kaya dan terkenal serta melegenda, itu sama saja dengan menyuruhnya berhenti bernafas. Apa artinya? Artinya, engkau sama saja menyuruh dia memilih, lebih bak mati daripada berhenti bermain golf. Bagi Tiger, golf adalah jiwanya. Ia bergolf dengan segenap hatinya, dari jiwanya. Lalu, jika kau menyuruhnya berhenti, jiwanya akan mati. Ia bergolf sedari kecil. Berlatih lebih banyak. Memukul lebih sering. Memahami medan lebih rajin. Kenapa? Karena itu adalah jiwanya. Karena itu adalah dunianya. Ia yang telah menemukan di mana dunianya, ia akan menikmatnya. Dan hal yang sama, terjadi juga pada si Rossi. Lalu, apakah mereka ingin menjadi yang terhebat? Ah, sepertinya bukan. Bukankah rahasia keahlian seseorang terletak kepada seberapa sering dan rajin ia mengulang-ulang? Lalu, jikalau mereka menjadi yang terhebat, itu bukan karena mereka ingin, tapi karena sebutan orang-orang, karena memang belum ada yang seahli mereka, maka merekalah kemudian menjadi yang terhebat. Sekali lagi, mereka melakukannya karena itu adalah jiwanya. Dan kehebatan, hanyalah bonus dari kecintaan mereka akan dunianya.

Oke, sepertinya engkau sudah mulai menangkap arah perbincangan kita kali ini berkenaan tentang jiwa. Maka, saatnya berbicara tentang hal ketiga. Yaitu tentang menulis.

Sebelumnya, mari kita analogikan kesemua pertanyaan bodoh itu kepada para penulis negeri ini. Mari kita suruh berhenti menulis saja kepada Kang Abik, Helvy Tiana Rossa, Asma Nadia, Gola Gong, Ali Muakhir, Afifah Afra, Izzatul Jannah, Remy Silado, Langit Kresna Hariadi, Tasaro, Bambang Trim, dan lain-lainnya. Mari kita bersama-sama, mengadakan demonstrasi besar-besaran di Senayan, dan meminta dengan sangat, agar mereka berhenti menulis, dan memberikan kesempatan kepada generasi penulis muda selanjutnya untuk berkarya. Bukankah mereka semua telah menjadi legenda tersendiri dalam dunia kepenulisan indonesia? Kira-kira, apa jawaban mereka?

Semua berawal dari hati. Semua bermula dari jiwa. Maka, jika kita menyuruh mereka berhenti menulis, maka, itu sama saja dengan mematikan jiwa mereka. Bukankah begitu? Maka, kuharap engkau mengurungkan niat untuk berdemonstrasi besar-besaran di Senayan itu. Lalu, kita belajar apa dari perbincangan kita kali ini? Kita berbicara tentang aktivitas yang bermula dari jiwa. Jika kau sudah menemukannya dalam dirimu, apa itu jiwamu, apa itu aktivitas yang ketika engkau melakukannya kau serasa ‘mati’ jika tak melakukannya barang sehari saja, maka, kau telah menemukannya. Begitu cara gampang menemukannya. Maka, walaupun engkau telah tua, walaupun engkau telah dimakan usia, engkau tetap melakukannya. Karena itu adalah jiwamu, karena itu adalah duniamu.

Maka, saya sering berpendapat seperti ini, bahwa menulis itu butuh jiwa dalam melakukannya. Kenapa? Jika tidak begitu, tulisan tak akan mempunyai ruah, dan muatan pikiran yang kuat. Berpeluh lelah dengan teori, bersimbah keringat dengan pemilihan diksi, tapi jika kau melakukannya hanya untuk meraih materi yang melimpah dan meruah, hanya untuk meraih kemasyhuran, percayalah, semua takkan bertahan lama. Seiring waktu, peningkatan kualitas takkan kau dapatkan. Seiring hari, kualitas tulisan pun takkan kau peroleh. Karena ini semua bermula dari hal terdasar, dan kita menyebutnya dengan: jiwa. Jika jiwa saja tak kau punya, kau hendak berbagi kepada dunia dengan apa?

Ketiga: Mainkanlah Imanjinasi Sesukamu
Namanya Jules Verne. Di beberapa dasawarsa, namanya disanjung-sanjung para ilmuwan. Padahal ia adalah seorang penulis, bukan ilmuwan. Tak heran, karena karya-karya sastranya adalah jenis fiksi yang merangkum imajinasi dengan kemungkinan penalaran ilmiah. Tergelarilah ia sebagai Bapak Fiksi Ilmiah. Maka kita dapati dalam novel-novelnya, Verne telah dianggap menemukan bom atom sebelum Einstein, merancang balon terbang sebelum Zeppelin, serta mengangankan pesawat terbang dan helikopter sebelum Wright. Verne benar-benar menulis sesuatu yang belum ada di zamannya. Tapi baginya, itu bukan hanya rekaan semata, karena ia tahu, apa yang dibayangkannya saat itu, orang lain akan mewujudkannya di masa depan.

Lahir pada tahun 1828 di Nantes, Perancis. Ayahnya adalah seorang pengacara, dan ingin agar Verne mengikuti jejaknya. Akan tetapi, Verne menolak, dan justru ingin berpetualang, dan berlayar di laut. Itu yang ada di pikiran Verne waktu kecil. Ayahnya yang tahu benar akan keinginan anaknya tersebut kemudian berusaha keras agar Verne menjadi ahli hukum. Berbagai cara ditempuh, hingga akhirnya Verne tak kuasa menolak arahan dari ayahnya tersebut. Maka ia berjanji dengan sederhana pada dirinya sendiri, “Aku akan berlayar dengan imajinasi-imajinasiku!”

Agar benar-benar menjadi pengacara, Verne dikirim ke Perancis. Tetapi di sana dia justru bergaul dengan para seniman masyhur, salah satunya adalah Alexander Dumas, dan melakoni bermacam-macam aktivitas, mulai dari penulis cerita komedi, pekerja teater, penyair di siang hari, dan menghabiskan malam-malamnya di Bibliotheque Nationale, Perpustakaan Nasional Perancis, untuk melahap buku-buku sains. Maka lahirlah di tahun 1962 novel pertamanya: Around the World in Eigthy Days. Karya-karya sci-fi berikutnya pun kemudian berlahiran: Voyage to the Center of the Earth, From the Earth to the Moon, dan Twenty Thousand Leagues under the Sea, serta seratusan novel lainnya yang kemudian ia tulis.

Saking masyhurnya Verne di antara tahun 1873 hingga 1886, bukunya menjadi primadona di mana-mana, dan di kalangan apa saja. Tak tanggung-tanggung, bahkan Paus Leo XIII menjamunya secara khusus, dan jalanan kharismatik Roma pun tertulis besar-besar dengan iringan kembang api, Eviva Gualio Verne, yang berarti Panjang Umurlah Verne saat menyambut kedatangannya di sana. Seperti janjinya di waktu kecil, perjalanan menulis Verne memang penuh dengan imajinasi dalam karya-karyanya. Akan tetapi, di balik imajinasinya, terkandung kebenaran-kebenaran ilmiah yang terbukti bahwa hal tersebut memang mungkin diadakan di masa depan. Serunya lagi, Verne mempunyai sebutan untuk penggemarnya sendiri, yaitu Vernian.

Berbekal pengetahuan dan imajinasi, Verne mengajak pembaca berpetualang ke pusat bumi dalam Voyage to the Center of the Earth. Bahkan, karya ini sudah difilmkan dengan sangat mengesankan yang diperankan oleh Brendan Fraser dengan judul Journey to the Center of the Earth. Karya-karyanya menjadi inspirasi proyek ilmiah. Dalam Twenty Thousand Leagues under the Sea, Kapten Nemo dengan Nautilusnya yang mengolah listrik dari air laut, menyelam di bawah es menuju Kutub Selatan itu, dalam delapan puluh delapan tahun kemudian, angkatan laut AS meluncurkan kapal selam nuklir yang diberi nama Nautillus, yang digunakan untuk melakukan penyelaman ke kutub Utara. Seperti Verne, bermain-mainlah dengan imajinasi, karena itu adalah kendaraan yang membawa kita terbang tinggi, dan memperkaya karya.

Itulah tiga bekal untuk terus menata dunia dengan aksara-aksara kita. Maka, teruslah menulis. Berbekal jiwa, dan bermain sesuka-sukanya di taman imajinasi, agar dunia terus merasai manfaat tata aksara kita. Dan di saat yang sama, bersiap-siaplah untuk menjadi legenda! []

Diposting oleh: Fachmy Casofa (The Kepala Suku of FLP Pelangi)
Source: http://writhink.wordpress.com/2010/11/24/menata-aksara-untuk-dunia/