Minggu, 26 Desember 2010

Menata Aksara untuk Dunia


Hemingway memuji sosok ini habis-habisan. Bahkan Hemingway menempatkannya sebagai sosok inspiratif dalam dunia kepenulisan. “Jujur saja,” begitu kata Hemingway, “seluruh cerita Amerika modern sesungguhnya cuma berasal dari dari satu buku, The Adventure of Huckleberry Finn, karya dari Mark Twain.”

Mungkin Hemingway tak terlalu berlebihan. Sosok ini, yang bernama asli Samuel Langhorne Clemens, atau lidah kita sudah terbiasa menyebut nama penanya dengan Mark Twain, memanglah istimewa. Terlahir di Florida, dan berlincah-lincah menuju usia dewasanya di Mississippi. Praktis, lingkungan perkapalan itu pun memengaruhi cita-citanya: menjadi seorang juru mudi kapal. Cita-citanya memang benar-benar terwujud. Akan tetapi, ketika tengah pecah perang saudara di tahun 1861-1865, ia justru merubah kemudi hidupnya menjadi seorang freelancer di berbagai media.

Orang-orang mulai tertakjub dengan kepiawaiannya menulis tatkala The Celebrated Jumping Frog of Calaveras Country terbit. Ia cukup tersohor berkat karyanya itu. Ia pun kemudian nomaden, dari Nevada, menuju California, hingga San Fransisco. Dasar penulis, kisah perjalannya itu pun kemudian menjadi inspirasi akan lahirnya sebuah karya lagi, kali ini terjuduli The Innocents Abroad. Dan statusnya pun bertambah: ia kian sukses dan kian tersohor kini. Ia pun kian kaya dan terkenal tatkala The Adventure of Huckleberry Finn tergulirkan ke pasaran. Namanya benar-benar meroket indah. Ia menjadi legenda. Dan cerita kelegendaannya bermula dari karyanya itu. Ia pun menjadi inspirasi sekian ribu-juta pembaca dan penulis, baik di generasinya maupun setelahnya.

Di belahan bumi dan waktu yang lain, tersebutlah juga sosok penulis yang juga melegenda. Siapa sangka, ia justru seorang dokter. Tapi praktiknya tidak laku. Pasien-pasien yang dirawatnya tidak betah. Entah mengapa. Sama seperti kita, ia pun juga tak tahu. Untuk mengisi kekecewaanya atas peristiwa ketidaklakuan praktik dokternya itu, ia menulis. Ia mereka-reka tokoh. Terlahirlah sosok rekaannya yang melengenda: Sherlock Holmes. Uniknya, sosok itu terinspirasi dari profesornya, John Bell, saat masih kuliah di Eidenburgh dulu.

A Study in Scarlet, muncul sebagai karyanya yang pertama. Kemudian menyusul sebagai yang kedua, A Sign of Four. Tapi itu semua tak laku. Tidak menggema dan kurang populer. Hingga akhirnya, dia menciptakan serial pendek The Adventure of Sherlock Holmes. Dan namanya langsung meledak, berkibar di tiang-tiang hati para pembaca. Ia langsung menjadi legenda. Ia benar-benar selalu ditunggu. Saking meledaknya, Holmes bahkan lebih terkenal dari namanya sendiri. Bahkan, ada data yang menyebutkan bahwa ia, adalah penulis dengan bayaran tertinggi di dunia pada tahun 1920-an. Dan dokter yang gagal berpraktik tapi tersohor setelah menjadi penulis itu bernama Sir Arthur Conan Doyle.

Karya mereka melegenda. Mark Twain dan Conan Doyle. Mark Twain, melegenda lewat Tom Saywer pada petualangan di The Adventure of Huckleberry Finn. Sir Arthur Conan Doyle melegenda lewat The Adventure of Sherlock Holmes. Tentu itu adalah inspirasi. Ruang kontemplasi super tinggi yang harus mau untuk kita renungi. Kali ini, kita belajar tentang satu pertanyaan: karya apa yang akan melegendakan kita?

Ini bukan cerita tentang betapa kemaruk atau bernafsunya kita menjadi tersohor. Bukan, bukan tentang itu kawan. Tapi, ini adalah tentang niat mulia kita untuk menghasilkan karya, dan di saat yang sama, ini adalah tentang menantang diri kita sendiri untuk melompat lebih tinggi. Kita terbiasa meloncat di batasan atap yang pendek sekali. Mengapa tak kita keluar saja dari ruangan itu, kemudian meloncat dengan hebat di lapangan luas. Dengan batasan langit sebagai atap, tentu kita akan tergerak dan teradrenalinkan semangat, untuk melompat lebih tinggi, tinggi, tinggi, dan tinggi lagi. Ayolah, kita bisa lebih hebat dari saat sekarang ini. Ini hanya sebuah cerita tentang kemauan saja. Dengan begitu, kita akan mempunyai kemampuan.

Untuk apa melegenda? Perlukah itu? Tidak. Kita tidak perlu. Tapi generasi setelah kita yang memerlukannya. Mereka butuh inspirasi, dan inspirasi, selalu lebih mengena dan mereka percayai jika datang dari generasi sebelum mereka. Mereka butuh belajar banyak hal dari masa-masa yang berbeda dengan mereka. Kemudian mereka timang, bandingkan, kemudian mereka bagi lagi. Begitu seterusnya. Dengan begitu, kita bukan hanya berbagi inspirasi, tapi kita juga menuai pahala, yang tak kenal henti. Jika kita tak melegenda, tentu mereka tak tahu kalau kita ada. Jika kita tak berkarya, tentu mereka tak bisa mengambil kita sebagai inspirasinya. Tentu saja, jika karya kita tak berguna bagi dunia, tentu kita tak menjadi legenda.

Sama seperti saya. Kita-kita sama-sama belum punya. Tapi di sini, kita belajar dari pertanyaan itu. Tapi dari sini, adalah terminal keberangkatan atas sebuah penyadaran: suatu saat, kita harus bisa seperti mereka. Lalu, pertanyaannya adalah, apa yang benar-benar kita butuhkan agar aksara-aksara kita benar-benar berguna untuk dunia?

Pertama: Teruslah Berkarya Agar Semesta Merasai Manfaatnya
Tak seperti kebanyakan penulis di zamannya, Jane Austen memang menentang arus. Kebanyakan, penulis di zamannya itu menyeruakkan tema tentang petualangan dan imaji yang liar. Sebut saja yang mengusung tema itu seperti Daniel Defoe, Samuel Richardson, atau Henry Fielding. Tapi Jane tidak, ia justru menampilkan tema yang unik: dengan settingan yang selalu bangsawan, ia seringkali mengisahkan gadis muda yang mencari jati diri. Dan itu sangat menggemparkan. Bagaimana tidak, sosok wanita di zaman dahulu, adalah kasta kedua dalam kehidupan sosial. Tema yang diangkat Jane, sangat tidak lazim.

Seperti karya tulisnya, kisah cintanya pun tak jauh berbeda. Di usia 23 tahun, ia dinikahkan oleh orangtuanya dengan Harris Bigg Whither, seorang bangsawan kaya dari Hampshire. Akan tetapi, tepat satu hari sebelum pelaksanaan sumpah nikah dilaksanakan, ia membatalkan. Kontan saja, seluruh manusia yang mengerti betapa sakralnya acara ini tergemparkan. Apa penyebabnya? Jane sosok setia sepertinya. Maklum, sebelumnya ia pernah menjalin cinta kasih dengan seseorang, tapi dia meninggal lebih dulu di usia yang masih muda. Dan sepertinya, ia ingin menjaga cinta suci versinya itu, dengan tidak menikahi seorang pria pun.

Sense and Sensibility, novel pertamanya, terbit. Tapi pasar belum beraksi apa-apa atas karyanya itu. Hingga dua tahun kemudian, naskah Pride and Prejudice, sebuah novel yang telah difilmkan dan diperankan oleh Keira Knightly ini, pun ketika ditawarkan ke penerbit, semuanya tak menggubris. Naskah Jane tertolak dengan sukses. Bahkan, sang ayah, yang mengerti benar tentang kemauan besar anaknya ini, ikut membantunya menghubungi penerbit-penerbit di London, tapi sepertinya, gayung belum juga bersambut. Tapi Jane, terus menulis. Bahkan lebih bersemangat menulis.

Hingga suatu kali, Richard Crosby, membeli novelnya yang Northanger Abbey. Tapi, tak jua kunjung terbit. Hingga akhirnya, perlu delapan tahun karyanya akhirnya terterbitkan, itu pun setelah ia tak mencantumkan nama aslinya dalam novel. Tapi, karena banyak yang memuji karyanya, akhirnya ia pun mulai menggunakan nama asli. Secara beruntun, akhirnya karyanya pun membanjiri pasar. Ia mulai tersohor. Ia mulai banyak penggemar. Bahkan, tak tanggung-tanggung, Pangeran Regent, yang kemudian menjadi Raja George IV, adalah penggemar beratnya.

Kita belajar dari Jane tentang tak kenal lelah berkarya. Jika ada di suatu hari dalam hitungan hari-hari kita, kita mengingini karya kita diterbitkan menjadi buku, dan naskah sudah kita siapkan sedemikian cantik dan memesona, tapi gayung belum juga bersambut, penerbit belum ada yang mau membuka matanya sekali saja untuk melirik karya kita, berhentikan kita dari cita itu? Jangan. Tidak. Sekali-kali jangan, sekali-kali juga tidak. Jika kau laki-laki, malulah pada Jane. Jika kau perempuan, berkacalah pada Jane. Ini bukan masalah jender kawan, ini adalah tentang mengaca rasa malu. Karena itulah yang akan membawa kita ke jalan lain yang labih baik. Jika mimpimu tak kau pegang erat, lalu siapa yang akan dengan senang hati memegang eratnya? Teruslah berkarya, lalu tunggu keajaiban. Karena jika kau berhenti, kau akan ketinggalan kereta keajaiban yang mampir di terminal masa depanmu. Berkaryalah, dan biarkan seluruh semesta merasai manfaatnya.

Kedua: Tatalah Aksara dengan Kekuatan Jiwa
Mari kita berbicara tentang sebuah pertanyaan bodoh, jiwa, dan menulis. Ah, aku mulai melihat seraut tampang bingung dari reaksi wajahmu kawan. Agar tak semakin melinglung, mari kita memulai saja.

Kita memulainya dari sebuah pertanyaan bodoh saja. Bayangkan, misalnya begini, saat ini, kau datangi si Tiger Woods, dan katakan kepadanya begini, “Hai Tiger, kamu ini kan sudah kaya, terkenal, dan banyak prestasi kejuaraan yang sudah kau dapat, lalu, mengapa tak kau berhenti saja bermain golf, dan memberikan kesempatan generasi pegolf lainnya untuk menjuarai kejuaraan dan menjadi legenda sepertimu sekarang ini?” Atau, kau datangi Valentino Rossi, dan katakan hal ini jua kepadanya, “Hai Rossi, kau sudah berkali-kali menang, jadi miliarder, dan jua terkenal, mengapa tak kau hentikan saja balapan, bukankah kau sudah pernah menjadi juara dunia, dan bahkan kini kau pun sudah menjadi legenda, lalu, apalagi yang hendak kau cari?”
Kira-kira, apa yang akan mereka berdua katakan kepadamu kawan? Pilihlah beberapa opsi berikut ini:

“Baiklah, kau benar kawan, saranmu akan kulaksanakan, aku akan menikmati kekayaanku sekarang ini, dan rumahku yang megah itu, berkeliling dunia setiap hari, dan menghabiskan waktu berhari-hari berlayar di Miami.”

“Ha? Kau bercanda? Aku sudah berpeluh lelah menuju kondisi seperti ini, tak mungkin aku berhenti, aku ingin membuktikan kepada dunia, bahwa aku yang terhebat!”

Oke kawan, opsinya hanya dua. Dan kau harus memilih, kira-kira mereka memilih jawaban yang mana? Sepertinya, mereka berdua takkan memilih satu pun di antara dua opsi itu. Benarkah? Yah, karena bagi mereka, itu adalah pertanyaan terbodoh yang pernah mereka dengar. Oke, engkau sudah melewati tahap pertama dalam pembahasan kita. Yaitu tentang sebuah pertanyaan bodoh. Mari kita berbicara tentang tahapan kedua, yaitu tentang jiwa.

Bagi Tiger, golf adalah nafasnya. Jika engkau menyuruhnya berhenti bergolf ‘hanya’ karena ia sudah kaya dan terkenal serta melegenda, itu sama saja dengan menyuruhnya berhenti bernafas. Apa artinya? Artinya, engkau sama saja menyuruh dia memilih, lebih bak mati daripada berhenti bermain golf. Bagi Tiger, golf adalah jiwanya. Ia bergolf dengan segenap hatinya, dari jiwanya. Lalu, jika kau menyuruhnya berhenti, jiwanya akan mati. Ia bergolf sedari kecil. Berlatih lebih banyak. Memukul lebih sering. Memahami medan lebih rajin. Kenapa? Karena itu adalah jiwanya. Karena itu adalah dunianya. Ia yang telah menemukan di mana dunianya, ia akan menikmatnya. Dan hal yang sama, terjadi juga pada si Rossi. Lalu, apakah mereka ingin menjadi yang terhebat? Ah, sepertinya bukan. Bukankah rahasia keahlian seseorang terletak kepada seberapa sering dan rajin ia mengulang-ulang? Lalu, jikalau mereka menjadi yang terhebat, itu bukan karena mereka ingin, tapi karena sebutan orang-orang, karena memang belum ada yang seahli mereka, maka merekalah kemudian menjadi yang terhebat. Sekali lagi, mereka melakukannya karena itu adalah jiwanya. Dan kehebatan, hanyalah bonus dari kecintaan mereka akan dunianya.

Oke, sepertinya engkau sudah mulai menangkap arah perbincangan kita kali ini berkenaan tentang jiwa. Maka, saatnya berbicara tentang hal ketiga. Yaitu tentang menulis.

Sebelumnya, mari kita analogikan kesemua pertanyaan bodoh itu kepada para penulis negeri ini. Mari kita suruh berhenti menulis saja kepada Kang Abik, Helvy Tiana Rossa, Asma Nadia, Gola Gong, Ali Muakhir, Afifah Afra, Izzatul Jannah, Remy Silado, Langit Kresna Hariadi, Tasaro, Bambang Trim, dan lain-lainnya. Mari kita bersama-sama, mengadakan demonstrasi besar-besaran di Senayan, dan meminta dengan sangat, agar mereka berhenti menulis, dan memberikan kesempatan kepada generasi penulis muda selanjutnya untuk berkarya. Bukankah mereka semua telah menjadi legenda tersendiri dalam dunia kepenulisan indonesia? Kira-kira, apa jawaban mereka?

Semua berawal dari hati. Semua bermula dari jiwa. Maka, jika kita menyuruh mereka berhenti menulis, maka, itu sama saja dengan mematikan jiwa mereka. Bukankah begitu? Maka, kuharap engkau mengurungkan niat untuk berdemonstrasi besar-besaran di Senayan itu. Lalu, kita belajar apa dari perbincangan kita kali ini? Kita berbicara tentang aktivitas yang bermula dari jiwa. Jika kau sudah menemukannya dalam dirimu, apa itu jiwamu, apa itu aktivitas yang ketika engkau melakukannya kau serasa ‘mati’ jika tak melakukannya barang sehari saja, maka, kau telah menemukannya. Begitu cara gampang menemukannya. Maka, walaupun engkau telah tua, walaupun engkau telah dimakan usia, engkau tetap melakukannya. Karena itu adalah jiwamu, karena itu adalah duniamu.

Maka, saya sering berpendapat seperti ini, bahwa menulis itu butuh jiwa dalam melakukannya. Kenapa? Jika tidak begitu, tulisan tak akan mempunyai ruah, dan muatan pikiran yang kuat. Berpeluh lelah dengan teori, bersimbah keringat dengan pemilihan diksi, tapi jika kau melakukannya hanya untuk meraih materi yang melimpah dan meruah, hanya untuk meraih kemasyhuran, percayalah, semua takkan bertahan lama. Seiring waktu, peningkatan kualitas takkan kau dapatkan. Seiring hari, kualitas tulisan pun takkan kau peroleh. Karena ini semua bermula dari hal terdasar, dan kita menyebutnya dengan: jiwa. Jika jiwa saja tak kau punya, kau hendak berbagi kepada dunia dengan apa?

Ketiga: Mainkanlah Imanjinasi Sesukamu
Namanya Jules Verne. Di beberapa dasawarsa, namanya disanjung-sanjung para ilmuwan. Padahal ia adalah seorang penulis, bukan ilmuwan. Tak heran, karena karya-karya sastranya adalah jenis fiksi yang merangkum imajinasi dengan kemungkinan penalaran ilmiah. Tergelarilah ia sebagai Bapak Fiksi Ilmiah. Maka kita dapati dalam novel-novelnya, Verne telah dianggap menemukan bom atom sebelum Einstein, merancang balon terbang sebelum Zeppelin, serta mengangankan pesawat terbang dan helikopter sebelum Wright. Verne benar-benar menulis sesuatu yang belum ada di zamannya. Tapi baginya, itu bukan hanya rekaan semata, karena ia tahu, apa yang dibayangkannya saat itu, orang lain akan mewujudkannya di masa depan.

Lahir pada tahun 1828 di Nantes, Perancis. Ayahnya adalah seorang pengacara, dan ingin agar Verne mengikuti jejaknya. Akan tetapi, Verne menolak, dan justru ingin berpetualang, dan berlayar di laut. Itu yang ada di pikiran Verne waktu kecil. Ayahnya yang tahu benar akan keinginan anaknya tersebut kemudian berusaha keras agar Verne menjadi ahli hukum. Berbagai cara ditempuh, hingga akhirnya Verne tak kuasa menolak arahan dari ayahnya tersebut. Maka ia berjanji dengan sederhana pada dirinya sendiri, “Aku akan berlayar dengan imajinasi-imajinasiku!”

Agar benar-benar menjadi pengacara, Verne dikirim ke Perancis. Tetapi di sana dia justru bergaul dengan para seniman masyhur, salah satunya adalah Alexander Dumas, dan melakoni bermacam-macam aktivitas, mulai dari penulis cerita komedi, pekerja teater, penyair di siang hari, dan menghabiskan malam-malamnya di Bibliotheque Nationale, Perpustakaan Nasional Perancis, untuk melahap buku-buku sains. Maka lahirlah di tahun 1962 novel pertamanya: Around the World in Eigthy Days. Karya-karya sci-fi berikutnya pun kemudian berlahiran: Voyage to the Center of the Earth, From the Earth to the Moon, dan Twenty Thousand Leagues under the Sea, serta seratusan novel lainnya yang kemudian ia tulis.

Saking masyhurnya Verne di antara tahun 1873 hingga 1886, bukunya menjadi primadona di mana-mana, dan di kalangan apa saja. Tak tanggung-tanggung, bahkan Paus Leo XIII menjamunya secara khusus, dan jalanan kharismatik Roma pun tertulis besar-besar dengan iringan kembang api, Eviva Gualio Verne, yang berarti Panjang Umurlah Verne saat menyambut kedatangannya di sana. Seperti janjinya di waktu kecil, perjalanan menulis Verne memang penuh dengan imajinasi dalam karya-karyanya. Akan tetapi, di balik imajinasinya, terkandung kebenaran-kebenaran ilmiah yang terbukti bahwa hal tersebut memang mungkin diadakan di masa depan. Serunya lagi, Verne mempunyai sebutan untuk penggemarnya sendiri, yaitu Vernian.

Berbekal pengetahuan dan imajinasi, Verne mengajak pembaca berpetualang ke pusat bumi dalam Voyage to the Center of the Earth. Bahkan, karya ini sudah difilmkan dengan sangat mengesankan yang diperankan oleh Brendan Fraser dengan judul Journey to the Center of the Earth. Karya-karyanya menjadi inspirasi proyek ilmiah. Dalam Twenty Thousand Leagues under the Sea, Kapten Nemo dengan Nautilusnya yang mengolah listrik dari air laut, menyelam di bawah es menuju Kutub Selatan itu, dalam delapan puluh delapan tahun kemudian, angkatan laut AS meluncurkan kapal selam nuklir yang diberi nama Nautillus, yang digunakan untuk melakukan penyelaman ke kutub Utara. Seperti Verne, bermain-mainlah dengan imajinasi, karena itu adalah kendaraan yang membawa kita terbang tinggi, dan memperkaya karya.

Itulah tiga bekal untuk terus menata dunia dengan aksara-aksara kita. Maka, teruslah menulis. Berbekal jiwa, dan bermain sesuka-sukanya di taman imajinasi, agar dunia terus merasai manfaat tata aksara kita. Dan di saat yang sama, bersiap-siaplah untuk menjadi legenda! []

Diposting oleh: Fachmy Casofa (The Kepala Suku of FLP Pelangi)
Source: http://writhink.wordpress.com/2010/11/24/menata-aksara-untuk-dunia/

1 komentar:

FLP PELANGI SOLO RAYA mengatakan...

cakep dah

Posting Komentar